Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri

Tuesday, July 26, 2011

Legenda Nama Kota Tulungagung

Posted On 8:52 PM by ma2d 0 comments

Wilayah Tulungagung ternyata sudah dihuni sejak zaman pra sejarah dulu. Yang dianggap sebagai penghuni awal adalah homo wajakensis. Manusia pra sejarah yang fosilnya ditemukan oleh Eugene Dubois di daerah Tulungagung Selatan. Lokasi penemuannya konon terletak di dusun Nglepung desa Wajak Kecamatan Campurdarat.


Nama Tulungagung sebenarnya berasal dari dua kata 'Toeloeng dan Agoeng. Arti dari dua kata itu Toeloeng berarti mata air dan Agoeng berarti besar. Sebelumnya nama kota ini adalah Kabupaten Ngrawa. Penyebutan kata Ngrawa sendiri konon dari banyaknya daerah berawa yang ada atau dalam bahasa jawanya “Ngrowo”. Tulungagung awalnya hanya merupakan bagian dari distrik dari kabupaten Ngrawa. Waktu itu ibu kotanya masih berada di daerah Kalangbret.


Pegununungan Kapur di Wilayah Tulungagung Selatan
Sejak beberapa tahun lalu ada koreksi mengenai penentuan hari jadi kota Tulungagung. Merunut dari prasasti yang ditemukan di daerah Thani Lawadan yang kini diyakini bernama Wates, Campurdarat uisa kota ini sudah termasuk sangat tua usianya. Dari prasasti Lawadan menunjukkan kota ini berdiri sejak tahun 12 November tahun 1205.
Prasasti yang bertanggal 18 Nopember 1205 -- hari Jumat Pahing- dikeluarkan oleh Prabu Srengga raja terakhir kerajaan Daha. Raja yang terkenal dengan nama Prabu Dandanggendis. Isinya kurang lebih berisi pemberian keringanan pajak dan hak istimewa semacam bumi perdikan atau "sima". Alasannya pemberian ''hadiah'' tersebut adalah karena jasa prajurit Lawadan atas dedikasi dan bantuan mereka kepada kerajaan dalam mengusir musuh dari Timur. Berkat bantuan para prajurit Lawadan sang raja yang tadinya harus meninggalkan kraton dapat kembali berkuasa.
Pada jaman Mataram Islam yaitu jaman Sri Pakubuwono I dan VOC tahun 1709 mengadakan perjanjian nama Kalangbret tetap digunakan sebagai ibukota kabupaten Ngrawa. Begitu juga pada perjanjian Giyanti (1755) nama Kalangbret disebut salah satunya wilayah manca negaranya kerajaan Yogyakarta.
Kalangbret sebagai kadipaten Mancanegara Mataram terbentuk sejak perjanjian Giyanti. Wilayah tersebut selanjutnya dijadikan ibu kota kabupaten Ngrawa tahun 1750-- 1824 Masehi. Yaitu mulai masa Mataram Islam hinnggan jaman colonial. Bupati pertama Kabupaten Ngrawa adalah Kyai Ngabehi Mangundirono.
Nama ''Kalang bret '' telah dikenal sejak tahun 1255 M (prasasti Mula -Malurung) dan disebut ulang dalam Negara Kretagama (1635 M) dengan nama Kalangbret. Atas dasar tersebut legenda yang ada tentang asal Kalabret dari adipati kalang yang tewas dalam kondisi tersembret-sembret oleh pangeran Lembu peteng dimentahkan.
Sebelum bernama kabupaten Ngrawa di wilayah Tulungagung sudah berdiri Katumenggungan Wajak tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Katumenggungan ini bertahan hingga pembentukan kadipaten Ngrawa dengan pusat pemerintahan di Wajak sejak perjanjian Giyanti. Ini terjadi antara tahun 1615 - 1709 M pada masa Mataram Islam dan masa kolonial.
Saat masih berbentuk Katumenggungan yang menjadi tumenggung adalah Senapati Mataram bernama Surontani. Tokoh yang sangat melegenda tersebut dimakamkan di Desa Wajak Kidul Boyolangu.
Katumenggungan Wajak berakhir dengan berdirinya Kabupaten Ngrawa beribu kota di Kalangbret. Nama "Rawa'' telah dikenal sejak tahun 1194 M (Prasasti Kemulan) dan disebut ulang dalam Negarakertagama (1365 M). Nama ini kemudian berubah menjadi ''Ngrawa''.
Saat tampuk kepemimpinan berada di tangan KRT Pringgodiningrat Bupati Ngrawa ke IV, yang memerintah tahun 1824 --1930, ibu kota kabupaten Ngrawa dipindahkan kesebelah Timur sungai Ngrawa yaitu pada lokasi sekarang ini. Selanjutnya kota baru ini dijadikan pusat pemerintahan atau ibu kota Kabupaten Ngrawa. Terjadi pada masa colonial sampai sekarang .Pada tahun 1800--an sampai 1901 nama ''Toeloeng Agoeng'' dipakai sebagai nama salah satu dist rik dalam wilayah Kabupaten Ngrawa. Nama Kabupaten Ngrawa berubah menjadi Kabupaten Tulungagung pada tanggal : 1 April 1901 yaitu pada masa pemerintahan bupati Ngrawa ke 11: RT Partowijoyo.
MF ARIEF




Read more: http://fathoniarief.blogspot.com/2007/11/babad-tulungagung_12.html#ixzz1TH3hCnSd


Legenda Nama Kota Blitar

Posted On 8:47 PM by ma2d 0 comments

Seperti diketahui, menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas. Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.


Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut. Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.


Legenda Nama Kota Ngawi

Posted On 8:43 PM by ma2d 0 comments

Nama ngawi berasal dari “awi” atau “bambu” yang selanjutnya mendapat tambahan huruf sengau “ng” menjadi “ngawi”. Apabila diperhatikan, di Indonesia khususnya jawa, banyak sekali nama-nama tempat (desa) yang dikaitkan dengan flora, seperti : Ciawi, Waringin Pitu, Pelem, Pakis, Manggis dan lain-lain.
Demikian pula halnya dengan ngawi yang berasal dari “awi” menunjukkan suatu tempat yaitu sekitar pinggir ”Bengawan Solo” dan ”Bengawan Madiun” yang banyak tumbuh pohon “awi”. Tumbuhan “awi” atau “bambu” mempunyai arti yang sangat bernilai, yaitu :
1. Dalam kehidupan sehari-hari Bambu bagi masyarakat desa mempunyai peranan penting apalagi dalam masa pembangunan ini.
2. Dalam Agama Budha , hutan bambu merupakan tempat suci :
- Raja Ajatasatru setelah memeluk agama Budha, ia menghadiahkan sebuah ” hutan yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan bambu” kepada sang Budha Gautama.
- Candi Ngawen dan Candi Mendut yang disebut sebagai Wenu Wana Mandira atau Candi Hutan Bambu (Temple Of The Bamboo Grove), keduanya merupakan bangunan suci Agama Budha.
3. Pohon Bambu dalam Karya Sastra yang indah juga mampu menimbulkan inspirasi pengandaian yang menggetarkan jiwa.
Dalam Kakawin Siwara Trikalpa karya Pujangga Majapahit ”Empu Tanakung” disebut pada canto (Nyanyian) 6 Bait 1 dan 2, yang apabila diterjemahkan dalam bahasa indonesia, lebih kurang mempunyai arti sebagai berikut :
- Kemudian menjadi siang dan matahari menghalau kabut, semua kayu-kayuan yang indah gemulai mulai terbuka, burung-burung gembira diatas dahan saling bersaut – sautan bagaikan pertemuan Ahli Kebatinan (Esoteric Truth) saling berdebat.
- Saling bercinta bagaikan kayu – kayuan yang sedang berbunga, pohon bambu membuka kainnya dan tanaman Jangga saling berpelukan serta menghisap sari bunga Rara Malayu, bergerak-gerak mendesah, Pohon Bambu saling berciuman dangan mesranya.
4. ”awi” atau ”bambu” dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mempunyai nilai sejarah, yaitu dalam bentuk ”bambu runcing” yang menjadi salah satu senjata untuk melawan dan mengusir penjajah yang tenyata senjata dari ”bambu” ini ditakuti dari pihak lawan (digambarkan yang ”terkena” akan menderita sakit cukup lama dan ngeri).
Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini ada juga ”bambu runcing” yang dikenal dan disebut dengan ”Geranggang Parakan”. Dengan demikian jelaslah bahwa ”ngawi” berasal dari ”awi” atau ”bambu”, Sekaligus menunjukkan lokasi Ngawi sebagai ”desa” di pinggir Bengawan Solo dan Bengawan Madiun.

Berdasarkan penelitian benda-benda kuno, menunjukkan bahwa di Ngawi telah berlangsung suatu aktifitas keagamaan sejak pemerintahan Airlangga dan rupanya masih tetap bertahan hingga masa akhir Pemerintahan Raja Majapahit. Fragmen-fragmen Percandian menunjukkan sifat kesiwaan yang erat hubungannya dengan pemujaan Gunung Lawu (Girindra), namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi pergeseran oleh pengaruh masuknya Agama Islam serta kebudayaan yang dibawa Bangsa Eropa khususnya belanda yang cukup lama menguasai pemerintahan di Indonesia, disamping itu Ngawi sejak jaman prasejarah mempunyai peranan penting dalam lalu lintas (memiliki posisi Geostrategis yang sangat penting).
Dari 44 desa penambangan yang mampu berkembang terus dan berhasil meningkatkan statusnya menjadi Kabupaten Ngawi sampai dengan sekarang.
Penelitian terhadap peninggalan benda-benda kuno dan dokumen sejarah menunjukkan beberapa status Ngawi dalam perjalanan sejarahnya :
1. Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira pradesa, pada jaman Pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Majapahit) tepatnya tanggal 7 Juli 1358 Masehi, (tersebut dalam Prasati Canggu yang berangka Tahun Saka 1280)
2. Ngawi sebagai Daerah Narawita Sultan Yogyakarta dengan Palungguh Bupati – Wedono Monconegoro Wetan, tepatnya tanggal 10 Nopember 1828 M (tersebut dalam surat Piagam Sultan Hamengkubuwono V tertanggal 2 Jumadil awal 1756 AJ).
3. Ngawi sebagai Onder-Regentschap yang dikepalai oleh Onder Regent (Bupati Anom) Raden Ngabehi Sumodigdo, tepatnya tertanggal 31 Agustus 1830 M.
Nama Van Den Bosch berkaitan dengan nama ”Benteng Van Den Bosch Di Ngawi, yang dibangun pada Tahun 1839 – 1845 untuk menghadapi kelanjutan Perjuangan Perlawanan dan serangan rakyat terhadap penjajah, diantaranya di ngawi yang dipimpin oleh Wirotani, salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Hal ini dapat diketahui dari buku ”De Java Oorlog” karangan Pjf. Louw Jilid I Tahun 1894 dengan sebutan (menurut sebutan dari penjajah) : ”Tentang Pemberontakan Wirotani di Ngawi”. Bersamaan dengan ketetapan ngawi sebagai Onder – Regentschap telah ditetapkan pembentukan 8 regentschap atau Kabupaten dalam wilayah Ex. Karesidenan Madiun akan tetapi hanya 2 regentschap saja yang mampu bertahan dan berstatus sebagai Kabupaten yaitu Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan. Adapun Ngawi yang berstatus sebagai Onder – Regentschap dinaikkan menjadi regentschap atau kabupaten, karena disamping letak geografisnya sangat menguntungkan juga memiliki potensi ynag cukup memadai.
4. Ngawi sebagai regentschap yang dikepalai oleh Regent Atau Bupati Raden Adipati Kertonegoro pada tahun 1834 (Almanak Naam Den Gregoriaanschen Stijl, Vor Het Jaar Na De Geboorte Van Jezus Christus,1834 Halaman 31)
Dari hasil penelitian tersebut di atas, apabila hari jadi ngawi ditetapkan pada saat berdirinya Onder – Regentschap pada tanggal 31 Agustus 1830 berarti akan memperingati berdirinya pemerintahan penjajahan di Ngawi, dan tidak mengakui kenyataan statusnya yang sudah ada sebelum masa penjajahan.
Dari penelusuran 4 (empat) status Ngawi di atas, Prasati Canggu yang merupakan sumber data tertua, digunakan sebagai penetapan hari jadi ngawi, yaitu pada tahun 1280 Saka atau pada tanggal 8 hari Sabtu Legi Bulan Rajab Tahun 1280 Saka, tepatnya pada tanggal 7 Juli 1358 Masehi (berdasarkan perhitungan menurut Lc. Damais) dengan status ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira Pradesa.
Sesuai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Ngawi dalam Surat Keputusannya Nomor 188.170/34/1986 tanggal 31 Desember 1986 tentang Persetujuan Terhadap Usulan Penetapan Hari Jadi Ngawi maka berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ngawi Nomor 04 Tahun 1987 tanggal 14 Januari 1987, Tanggal 7 Juli 1358 Masehi Ditetapkan Sebagai ”Hari Jadi Ngawi”.


Monday, July 25, 2011

Legenda Nama Kota Pacitan

Posted On 7:51 PM by ma2d 0 comments

Sebagian orang berpendapat asal nama Kabupaten Pacitan berasal dari kata Pacitan yang berarti camilan, sedap-sedapan, tambul, yaitu makanan kecil yang tidak sampai mengenyangkan. Hal ini disebabkan daerah Pacitan merupakan daerah minus, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya tidak sampai mengenyangkan; tidak cukup (pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) nama tersebut telah muncul dalam babat Momana).

Kota pacitan adalah sebuah kota yang berada di pulau jawa. Pacitan adalah sebuah kota yang berada di karesidenan madiun pada abad ke XV di pacitan telah berkembang agama hindu dan Budha yang berkiblat kepada Kerajaaan Majapahit yang dipimpin oleh ki ageng buwono keling yang bertempat tinggal di Jati Kecamatan Kebonagung (Drs. Ronggosaputro;1980)

Sedangkan islam dipacitan dibawa oleh Ki Ageng Petung (Kyai Siti Geseng) bersama Syeh Maulana Magribi dan Kyai Ampok Boyo (Kyai Ageng Posong) dibantu Kyai Menaksopal dari Trenggalek.

Beberapa prasasti juga ditemukan prasasti jawa kuno yang memperkuat asumsi bahwa Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di wengker kidul.

PRASASTI JAWA KUNO

JA PURA PURAKSARA ERESTHA

BHUWANA KELING ABHIYANA

JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA

BHIJNA TABHA MINIGVAZAH

RATNA KARA PRAMANANTU

Artinya : dahulu ada seorang pendekar ternama bernama buwono keling yang telah mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan pemakrarsa daerah sekitarnya.

Negeri buwana Keling terletak di (Jati Kec. Kebonagung) ± 7 km dari ibukota Pacitan sekarang yang disebut daerah wengker kidul atau daerah pesisir selatan.

Dan ketika dalam perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari (1746-1755) )melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya terus mundur keselatan sambil mencari dukungan orang sakti untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan (Drs. Ronggosaputro;1980)

Setelah Pangeran Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo . Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya diangkat juga oleh Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo.


Legenda Nama Kota Madiun

Posted On 6:45 PM by ma2d 0 comments

Sultan Trenggono adalah Sultan Demak ketiga, sekaligus juga yang terakhir. Beliau mangkat pada tahun 1546 di medan perang dalam usahanya menaklukkan daerah Pasuruan di Jawa Timur. Peristiwa tersebut membawa akibat timbulnya perang saudara antar keturunan daerah Demak untuk memperebutkan tahta kerajaan.
Sultan Prawata, putra sulung Sultan Trenggono gugur dalam perebutan tahta itu. Tinggallah Pangeran Hadiri dan Pangeran Adiwijaya. Keduanya sama-sama menantu dari Sultan Trenggono. Yang keluar sebagai pemenangnya adalah Pangeran Adiwijaya.
Atas restu Sunan Kudus, Pangeran Adiwijaya ditetapkan sebagai Sultan dan menetapkan Pajang sebagai pusat kerajaan. Bersamaan dengan penobatan Sultan Adiwijaya, dilantik pula adik ipar sultan, yaitu putra bungsu Sultan Trenggonoyang bernama Pangeran Timur sebagai Bupati di Purabaya yang sekarang disebut Kabupaten Madiun.
Setelah Pangeran Adiwijaya mangkat karena usianya yang sudah tua, pusat pemerintahan berpindah ke Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Danang Sutowijoyo atau yang lebih populer disebut Panembahan Senopati. Ia adalah putra sulung Pangeran Adiwijaya. Konon, Panembahan Senopati berwajah tampan, kemauannya keras dan pandai berperang. Sebagai seorang raja besar, Panembahan Senopati bercita-cita hendak menaklukkan para bupati di seluruh Tanah Jawa di bawah panji-panji Mataram.
Terkisahlah Pangeran Timur setelah menjadi bupati di Purabaya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya aman dan makmur. Ia disenangi oleh para bupati di Jawa Timur. Dalam memerintah, ia dikenal dengan sebutan Pangeran Ronggo Jumenoatau panembahan Mediyun. Dari kata Panembahan yang berasal dari kata adsar sembah sudah jelas bahwa Pangeran Timur memiliki kedudukan yang lebih dibanding para bupati yang lain karena kepadanya orang menghaturkan sembah. Mungkin karena Pangeran Timur masih keturunan Raja Demak Bintoro.
Beberapa bupati yang bersekutu dengan Pangeran Timur di Purabaya yang tidka tunduk pada kekuasaan Mataram adalah Surabaya, Ponorogo, Pasuruan, Kediri, Kedu, Brebek, Pakis, Kertosono, Ngrowo (Tulungagung), Blitar, Trenggalek, Tulung (Caruban), dan Jogorogo.
Panembahan Senopati pernah menyerang Purabaya dua kali, namun gagal. Dalam penyerangannya yang ketiga, Panembahan Senopati mengambil langkah-langkah yang menyangkut siasat dan strategi. Para prajurit dibekali dengan kemampuan dan keterampilan dalam mempergunakan senjata (keris, pedang, tombak, panah) dan ketangkasan menunggang kuda serta mengendalikan kuda.
Pasukan Panembahan Sneopati dibagi menjadi pasukan inti dan pasukan kelas dua. Untuk mengecoh lawan, pasukan kelas dua dilengkapi dengan segala atribut kebesaran perang: genderang, panji-panji, dan umbul-umbul. Pasukan ini tugasnya mengepung Purabaya dan datang dari arah yang berlawanan.
Dalam penyarangan yang dijalankan oleh Panembahan Senopati dibantu oleh dua orang penasihat ahli perang, yaitu Ki Juru Mertani dan Ki Panjawi.
Siasat pertama yang dijalankan oleh Panembahan Senopati adalah mengutus seorang istri/selirnya yang amat dikasihinya untuk berpura-pura tunduka pada pemerintahan Pangeran Timur di Purabaya. Tentulah Pangeran Timur bergirang hati. Diterimanya tanda tunduk dari Mataram. Melihat peristiwa itu, beberapa bupati yang menjadi sekutu Purabaya lengkap dengan prajuritnya yang telah lama bersiaga di Purabaya mulai pulang ke daerah masing-masing. Kabupaten Purabaya dinyatakan dalam keadaan aman dan tenang oleh Pangeran Timur.
Dalam suasana seperti itu, prajurit sandi Mataram segera menghadap Panembahan Senopati di Mataram. Akhirnya dengan pertimbangan yang masak, Panembahan Senopati memimpin prajurit Mataram untuk menyerang Kabupaten Purabaya dari berbagai arah.
Mendapat serangan tiba-tiba dari Mataram, Raden Ayu Retno Jumilah segera mengangkat senjata memimpin para prajurit Purabaya untuk melawan prajurit Mataram, ia masih putri Pangeran Timur. Purabaya yang telah ditinggalkan oleh para sekutunya menghadapi serbuan Panembahan Senopati dipertahankan sepenuhnya oleh pasukan sendiri, itupun yang mereka lawan adalah pasukan kelas dua.
Tanpa mendapat perlawanan yang berarti, pasukan inti Mataram segera menyerbu pusat pertahanan terakhir yang berada di kompleks istana Kabupaten Purabaya. Pasukan pertama bertugas melindungi keluarga dan istana. Mereka bertempur dengan gagah berani melawan pasukan inti Mataram. Pertempuran yang sangat sengit itu terjadi di sekitar sendang di dalam kompleks istana.
Kabupaten Purabaya akhirnya runtuh pada tahun 1590. Untuk mengenang peristiwa itu, Panembahan Senopati mengubah nama Purabaya menjadi Mbedi Ayun (Mbedi = mbeji = beji dalam bahasa Jawa berarti sendang. Ayun berarti depan atau dapat juga berarti perang. Mbedi Ayun berarti perang di sekitar sendang). Kata Mbedi Ayun akhirnya mengalami perubahan ucapan menjadi Mbediyun, kemudian berubah lagi menjadi Mediyun dan yang terahir adalah Madiun. Konon perang besar itu berakhir pada hari Jumat Legi tanggal 16 November 1590 Masehi, sekaligus ditandai sebagai penggantian nama Purabaya menjadi Madiun


Legenda Nama Kota Ponorogo

Posted On 9:46 AM by ma2d 0 comments

Berdasar Legenda
1. Di dalam buku Babad Ponorogo yang ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo. Bermula dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong. Kyai Mirah. Dan Joyodipo pada hari jum’at sat bulan purnama. Bertempat di tanah lapang dekat gumuk ( wilayah Katongan sekarang ). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan nanti dinamakan “ Pramana raga “ akhirnya lama kelamaan menjadi Ponorogo.
2. Dari cerita rakyat yang masih hidup di kalangan masyarakat terutama dikalangan generasi tua. Ada yang mengatakan bahwa nama Ponorogo kemungkinan berasal dari kata Pono : Wasis, pinter, mumpuni, mengerti benar, Raga : Jasmani badan sekujur. Akhirnya menjadi Ponorogo.
Tinjauan Etimologi
Mengacu dari sumber-sumber certa diatas. Jika ditinjau secara etimologi akan kita dapatkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
1. Prama Raga
Sebutan Pramana Raga terdiri dari dua kata :
Pramana : Daya kekuatan, rasa hidup, permono, wadi
Raga : Badan, Jasmani
Dari penjabaran tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan wadak manusia itu tersimpan suatu rahasia hidup ( Wadi ) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, alumawah, shuflah, muthmainah
2. Ngepenakake raga menjadi Panaraga
Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan dapat menempatkan diri dimana pun dan kapan pun berada.
Akhirnya apapun tafsirannya tentang Ponorogo dalam wujud seperti yang kita lihat sekarang ini adalah tetap Ponorogo sebagai kota REOG yang menjadi kebanggan masyarakat Ponorogo.

Kabupaten Ponorogo adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun di utara, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek di timur, Kabupaten Pacitan di barat daya, serta Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di barat. Ponorogo memiliki luas wilayah 1.371,78 km².
Ponorogo dikenal dengan julukan kota reog, karena daerah ini merupakan tempat lahirnya kesenian reyog, yang kini menjadi icon wisata Jawa Timur. Setiap tanggal 1 Muharam Suro, kota Ponorogo diselenggarakan Grebeg Suro yang juga merupakan hari lahir Kota Ponorogo. Dalam even Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo jaman dulu,saat masih dalam masa Kerajaan Wengker, diarak bersama pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo, dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo Kabupaten. Pada Malam harinya, di aloon-aloon kota.
Festival Reog Internasional memasuki babak final. Esok paginya ada acara Larung Do’a di Telaga Ngebel, dimana nasi tumpeng dan kepala kerbau dilarung bersama do’a ke tengah-tengah Danau Ngebel. Even Grebeg Suro ini menjadi salah satu jadwal kalender wisata Jawa Timur. Satu lagi obyek wisata yang yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan secara matang dan terpadu.


Legenda Nama Kota Lamongan

Posted On 3:51 AM by ma2d 0 comments

Alkisah saat penyebaran agama islam telah meluas di Jawa Timur,khususnya daerah Gresik di bawah naungan Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri) Islam melekat erat di daerah tsb.

Tak asing lagi di telinga kita khususnya warga Lamongan nama Ki Ronggo Hadi alias Mbah Lamong.Nama asli beliau adalah Hadi,sedangkan Ronggo adalah karena mendapat pangkat ronggo dari Sunan Giri.Beliau adalah santri yg di sayangi oleh Kanjeng Sunan Giri karena sifatnya yg baik,trampil,cakap dan cepat menguasai ajaran agama islam serta tahu seluk beluk pemerintahan.Dari semua sifat itu akhirnya Sunan Giri menugaskan beliau untuk menyebarkan agama islam sekaligus mengatur kehidupan rakyat di kawasan yang terletak di sebelah barat Kasunanan Giri yg bernama Kenduruan.Ketika itu Lamongan masih berupa hutan belantara,namu disana sudah terdapat daerah-daerah kecil yg sudah berpenghuni.Para penduduknya belum mengenal islam.Seiring berjalanya waktu penyebaran agama islam mendapatkan angina segar,teryata beliau di sambut warga setempat dg senang hati.
Disamping armah tamah beliau jg sangat disegani,sehingga dengan mudah islam menjalar ke daerah itu.Setelah islam menyebar luas,Akhirnya Ki Ronggo Hadi pun memberi nama yg menandakan daerah itu indah,mungkin itu suatu dasar kenapa beliau memberi nama Lamongan.Dan dari semua perjuangannya,sebutan Lamongan pun di cetuskandan berkembang sampai sekarang.Usut punya usut Lamongan berasal dari kata bahasa arab " Lam'An "yg artinya bintang jatuh.Hanya saja banyak orang yg tidak bisa mengucapkan kata Lam'An,akhirnya mereka menyrbutnya Lamonagan.Bersamaan dg pemberian nama Lamongan,Ki Ronggo Hadi pun mendapat sebutan Mbah Lamong dari masyarakat karena telah membri nama daerah ini Lamongan.Dan melihat semakin luasnya daerah islam yg telah beliau sebarkan,sampai pada hari kamis pahing tnggal 10 Dzulhijah th 976 H,atau tanggal 26 Mei 1569 M pemerintahan Jawa Timur menetapkan daerah ini menjadi Kabupaten,dan mengangkat KI Ronggo Hadi sebagai Bupati Lamonagan yang pertama.sekaligus sebagai hari jadi kota Lamonagan.


Legenda Nama Kota Gresik

Posted On 3:46 AM by ma2d 0 comments

Melacak asal usul nama Gresik adalah satu hal yang sangat menarik. Banyak ditemukan penuturan tradisional berupa tradisi lisan, babad, serat, syair (macapat), yang kadang tidak dapat diterima oleh akal sehat, sehingga sulit dikaji secara akurat.

Namun sumber tersebut dapat dijadikan studi komparatif dengan sumber lain yang historis. Berikut adalah beberapa sumber sejarah yang berhubungan dengan nama Gresik.

Babad Hing Gresik menyebut Gresik dengan nama “Gerwarase”.
Prasasti Karang Bogem tahun 1387 M memuat nama “Gresik” dalam Bahasa Jawa Kuno.
Bangsa Cina yang pernah mendarat di Gresik pada awal abad ke-15 M, mula-mula menyebut “T’Se T’Sun” artinya perkampungan kotor, beberapa tahun kemudian berubah sebutan menjadi “T’Sin T’Sun” artinya kota baru.
Bangsa Portugis ketika pertama kali mendarat di Gresik tahun 1513 menyebutnya dengan ucapan “Agace” tertulis “Gerwarace”.
Bangsa Belanda awalnya menyebut “Gerrici” kemudian dalam banyak dokumen tertulis menjadi “Grissee”. Sampai sekarang tulisan ini dapat dilihat pada sebuah kantor dagangnya di Kampung Kebungson Gresik.
Serat Centini sebuah karya sastra tengah pertama abad ke-19 M menyebut nama “Giri-Gresik”.
Bangsa Arab menyebut “Qorrosyaik”, satu perintah dari seorang nahkoda kapal pada anak buahnya untuk menancapkan sesuatu yaitu jangkar sebagai tanda kapal telah berlabuh.
Solihin Salam menyebut nama “Giri-Isa” ungkapan dari kata Giri berarti bukit, sedangkan Giri-Isa atau Giri-Nata berarti Raja Bukit untuk menyebut penguasa Giri-Gresik.
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java berpendapat bahwa sebutan Gresik berasal dari kata “Giri-Gisik” berarti tanah di tepi laut (pesisir). Giri-Gisik kemudian berubah menjadi Giri-Sik, akhirnya Gresik.
Dari berbagai sebutan itu dan menurut hikayat yang berkembang di masyarakat, yang menarik adalah sebutan “Giri-Gisik”, karena bahasa pribumi jawa yang menunjuk adanya bukit (Giri) dan pantai (Gisik), ciri yang sungguh serasi benar dengan fisik lokasi Gresik. Giri-Gisik dalam percakapan sehari-hari, akhirnya berubah menjadi “GRESIK”.


Legenda Nama Kota Pasuruan

Posted On 1:59 AM by ma2d 0 comments

Dahulu kala, lahirlah seorang anak yang bernama Untung Suropati. Dia dilahirkan dari seorang ibu yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Nama Untung Suropati merupakan nama pemberian neneknya. Nama itu memiliki maksud agar putranya selalu beruntung selama hidupnya.
Sejak Untung Suropati berumur 15 tahun, ibunya meninggal dunia dan dia menjadi anak angkat Belanda. Meskipun begitu, Untung Suropati sangat membenci Belanda, tetapi dia tidak mengungkapkan secara langsung kepada orang tua angkatnya.
Waktu terus berjalan. Untung mulai berani melawan Belanda beserta pasukannya. Atas keberanian tersebut, Untung Suropati harus masuk penjara di Batavia (yang sekarang menjadi Jakarta). Selama Untung Suropati berada dalam penjara, kebenciannya terhadap Belanda meluap-luap. Oleh sebab itu, Untung selalu berusaha menyadarkan rakyat Indonesia yang sama-sama berada di penjara untuk bersatu melawan Belanda. Ternyata, seluruh penghuni penjara sepakat untuk mendukung keinginan Untung Suropati.
Untung Suropati beserta kawan-kawannya yang berada di penjara setiap hari memikirkan dan mengatur strategi agar bisa keluar dari penjara. Setelah semua diatur sebaik mungkin, Untung mulai beraksi. Untung dan semua pengikutnya bersiap melarikan diri dari penjara.

“Bagaimana keadaan di luar?” bisik Untung kepada penghuni penjara yang dekat pintu keluar.
“Aman,” jawab salah seorang tahanan lainnya
Untung menggedor-gedor pintu penjara. Penghuni penjara lainnya mengikuti sehingga suasana gaduh. Dua sipir penjara bergegas membuka pintu penjara tempat Untung berada. Pada saat itulah dua sipir berhasil dilumpuhkan. Diambilnya kunci penjara yang berada di pinggang sipir. Setiap orang Belanda yang dijumpai dilumpuhkannya. Untung Suropati dan semua penghuni penjara melarikan diri ke Mataram yang letaknya cukup jauh dari penjara itu. Selama dalam perjalanan menuju ke Mataram, mereka terus memikirkan apa yang akan dilakukan selanjutnya untuk melawan Belanda.
Mengetahui Untung sudah melarikan diri bersama-sama penghuni penjara lainnya, Komandan pasukan Belanda sangat marah. Semua pasukan dikerahkan untuk mengejar Untung Suropati dan kawan-kawannya.
“Tangkap Untung hidup atau mati,” perintah komandan pasukan Belanda
Semua pasukan Belanda ditugaskan untuk mencari tahu keberadaan Untung Suropati. Untung Suropati dan kawan-kawannya merasa di Mataram bukan tempat yang cocok untuk melarika diri. Untung beserta pengikutnya terus bergerak, yang sampai akhirnya menemukan sebuah daerah yang selama ini mereka cari. Di daerah ini banyak orang yang mendukung sepak terjang Untung Suropati. Mereka mendirikan tempat persembunyian yang kokoh dan kuat sebagai tempat tinggal Untung Suropati dan kawan-kawannya. Benteng itu berpagar hutan bambu yang lebat bahkan sukar ditembus oleh manusia sekali pun. Dari situlah Untung Suropati menyusun kekuatan dan strategi melawan Belanda. Mereka mulai mengumpulkan semua peralatan perang, seperti senjata, pedang, keris, dan tombak yang dipersiapkan untuk melawan Belanda.
Belanda terus berusaha mencari tempat persembunyian Untung Suropati. Tentara dan mata-mata Belanda disebar ke seluruh pelosok untuk mencari dan menemukan tempat persembunyian Untung. Akhirnya tercium juga tempat persembunyian Untung Suropati. Belanda mengerahkan semua pasukannya menuju ke daerah Timur untuk menggempur Untung Suropati dan kawan-kawannya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan melelahkan, sampailah pasukan Belanda di dekat tempat persembunyian Untung Suropati dan kawan-kawannya. Hanya saja, Belanda merasa kesulitan untuk mendekati tempat persembunyian Untung. Belanda tidak sanggup menembus hutan bambu yang lebat.
Belanda dan pasukannya bertambah kebingungan. Setiap ditanya, tak satu pun orang yang mau menjawab tentang tempat persembunyian Untung Suropati. Mereka selalu diam kalau ditanya. Mereka lebih memilih menghindar dari pasukan Belanda. Kalaupun mereka mau membantu, itu pun karena mereka diancam hendak dibunuh. Bahkan, ibu-ibu tua pun yang tidak mengerti apa-apa harus dibunuh karena tidak mau menunjukkan persembunyian Untung.
Belanda kehabisan akal. Sudah berbulan-bulan berada di daerah itu, tetapi sia-sia. Pimpinan pasukan Belanda memutuskan untuk menyebarkan uang logam di hutan bambu untuk menemukan Untung Suropati. Disiapkanlah berkarung-karung keping uang logam.
Belanda mengumumkan kepada seluruh rakyat bahwa di hutan bambu itu akan disebar berkarung-karung keping uang logam. Ternyata Belanda benar-benar melakukannya. Pada hari yang telah ditentukan oleh Belanda, semua rakyat mulai berbondong-bondong menuju ke tempat yang sudah ditentukan oleh Belanda. Beribu-ribu keping uang logam ditaburkan di seluruh hutan bambu itu. Di setiap sudut mata memandang, di situ terlihat keping uang logam yang memancarkan cahaya terkena sinar mentari.
Masyarakat belum berani mengambil uang logam itu. Mereka takut dengan pasukan Belanda yang berjaga-jaga. Hutan yang penuh dengan keping uang logam itu mulai menjadi bahan pembicaraan. Di sudut-sudut desa, di warung-warung, semua membicarakan tempat yang mirip pasar uang itu. Mereka belum tahu maksud Belanda menyebarkan beribu-ribu keping uang logam di hutan itu.
Beberapa masyarakat mulai timbul niat untuk bisa memiliki uang logam itu. Salah seorang memberanikan diri bertanya kepada salah satu prajurit Belanda.

“Maaf Menir, bolehkah saya mengambil uang logam itu,” tanya Pak Tua yang terlihat gemetaran.
“Apa katamu?”kata prajurit itu berpura-pura tidak mendengar
“Anu, Menir. Uang itu aku ambil ya?
“Hem …, ya, silakan. Tapi, kamu babat dulu hutan bambu itu,” kata prajurit itu dengan suara lantang.
Tanpa berpikir panjang, Pak tua mengambil sabit di rumahnya. Masyarakat berbondong-bondong mengikuti langkah Pak Tua. Mereka berebut menebang hutan bambu untuk mendapatkan uang logam yang telah disebar Belanda. Mereka dengan mudah mendapatkan uang logam itu. Sampai akhirnya, tempat persembunyian Untung Suropati ditemukan pasukan Belanda. Untung beserta pasukannya tertangkap. Orang-orang yang mengambil uang logam dan membabat hutan juga ikut ditangkap.
Tempat yang dikenal sebagai pasar uang itu akhirnya terus dikenang warga. Sejalan dengan perjalanan waktu, bekas hutan bambu tersebut selanjutnya berubah nama menjadi “Pasuruan” yang sekarang menjadi salah satu nama kota di Jawa Timur, sedangkan nama Untung Suropati menjadi nama jalan dan sebuah sekolah yang ada di Pasuruan.


Legenda Nama Kota Jember

Posted On 1:46 AM by ma2d 1 comments

Asal usul kota Jember, bisa dirunut dari beberapa sumber.

Ada beberapa legenda yang berkembang:
Dari nama Putri Jembersari. Seorang ratu yang pernah memerintah Jember dengan baik sehingga Jember menjadi makmur. Rakyatnya pun sangat puas dengan pemerintahannya. Hingga setelah ratu mangkat, namanya diabadikan menjadi sebuah kampung, Jember yang kita kenal sekarang. Kalau tidak salah, versi cerita ini pernah saya baca dari buku pelajaran saat saya SD sekitar tahun 80-an.

Dari Putri Jembarsari. Putri ini adalah anak seorang raja yang memerintah di wilayah selatan. Kerajaan nya makmur sehingga membuat iri lawan-lawannya. Maka diseranglah kerajaan ini oleh bajak laut dari selatan. Dan sang putri selamat setelah dibawa lari oleh penduduknya ke arah utara dan lalu membuat perkampungan baru yang dikasih nama dengan nama putri Jembarsari. Lalu berkembang menjadi nama Jember.

Masih dari legenda, alkisah ada putri raja Brawijaya bernama Endang Ratnawati. Putri ini cantik jelita hingga membuat para pria ingin berlomba melamarnya. Tapi rupanya sang putri selalu menolak lamaran karena masih belum mau berumah tangga. Sang putri lalu berniat menyepi. Sang putri keluar masuk hutan hingga berada di suatu daerah terpencil. Saat putri mandi di sungai Jompo datanglah seorang satria yang menggodanya. Hingga akhirnya satria menodai sang putri. Sang putri pun sedih. Dan karena larut dengan kesedihannya sang putri akhirnya mengeluh. 'Jember, jember badanku sudah kotor ternoda'. Lalu ia pun bunuh diri di sungai itu. Mayatnya kemudian ditemukan oleh orang dan dicari lah keluarganya. Karena tidak ketemu maka dikuburkanlah sang putri di tepi sungai Bedadung. Raja Brawijaya pun mencari-cari putri nya yang tak kunjung pulang. Hingga akhirnya terdengar kabar kalau sang putri sudah dikuburkan di suatu tempat yang akhirnya di kasih nama Jember (gumaman dari sang putri saat mengeluh)


Ada juga sumber yang mengatakan dari bahasa. Menurut etnis madura yang banyak berdiam di sebelah utara rel kereta api (jember terbelah oleh rel kereta api), kata jember berasal dari jembar yang artinya luas. Dataran jember memang luas membentang dari kaki gunung Argopuro hingga ke arah selatan. Sedangkan menurut etnis jawa yang lebih banyak terkonsentrasi di wilayah selatan dan bertani, jember berasal dari kata jembrek, jemek yang berarti kotor karena berair, becek, tapi subur. Dan memang wilayah selatan Jember terkenal dengan para petaninya yang lebih banyak etnis jawa.

Sepertinya, penamaan jember dari segi bahasa ini yang lebih bisa diterima.


Sunday, July 24, 2011

Legenda Nama Kota Malang

Posted On 8:54 PM by ma2d 0 comments

Adalah seorang raja yang bijaksana dan amat sakti, Dewasimha namanya. Ia menjaga istananya yang berkilauan serta dikuduskan oleh api suci Sang Putikewara (Ciwa). Berbahagialah sang Raja Dewasimha karena dewa-dewa telah menganugerahkan dalam hidupnya seorang putera sebagai pewaris mahkotanya. Putra yang kemudian menjadi pelindung kerajaan itu bernama Liswa atau juga dikenal sebagai Gajayana. Adalah Gajayana seorang raja yang begitu dicintai rakyatnya, berbudi luhur dan berbuat baik untuk kaum pendeta serta penuh baktu sesungguh-sungguhnya kepada Resi Agastya.
Sebagai tanda bakti yang tulus kepada Resi tersebut, sang Raja Gajayana telah membangun sebuah candi yang permai untuk mahresi serta untuk menjadi penangkal segala penyakit dan malapetaka kerajaan. Jikalau nenek moyangnya telah membuat arca Agstya dari kayu cendana, maka Raja Gajayana sebagai pernyataan bakti dan hormatnya telah memerintahkan kepada pemahat-pemahat ternama di seantero kerajaan untuk membuat arca Agastya dari batu hitam nan indah, agar semua dapat melihatnya. Arca Agastya yang diberi nama Kumbhayoni itu, atas perintah raja yang berbudi luhur tersebut kemudian diresmikan oleh para Regveda, para Brahmana, pendeta-pendeta terkemuka dan para penduduk negeri yang ahli, pada tahun Saka, Nayana-Vava-Rase(682) bulan Magasyirsa tepat pada hari Jum’at separo terang.
Ia Raja Gajayana yang perkasa itu adalah seorang agamawan yang sangat menaruh hormat kepada para pendeta. Dihadiahkannya kepada mereka tanah-tanah beserta sapi yang gemuk, sejumlah kerbau, budak lelaki dan wanita, serta berbagai keperluan hidup seperti sabun-sabun tempat mandi, bahan upacara sajian, rumah-rumah besar penuh perlengkapan hidup seperti : penginapan para brahmana dan tamu, lengkap dengan pakaian-pakaian, tempat tidur dan padi, jewawut. Mereka yang menghalang-halangi kehendak raja untuk memberikan hadiah-hadiah seperti itu, baik saudara-saudara, putera-putera raja, dan Menteri Pertama, maka mereka akan menjadi celaka karena pikiran-pikiran buruk dan akan masuk ke neraka dan tidak akan memperoleh keoksaan di dunia atau di alam lain. Ia, sebaliknya selalu berdoa dan berharap semoga keturunannya bergirang hati dengan hadiah-hadiah tersebut, memperhatikan dengan jiwa yang suci, menghormati kaum Brahmana dan taat beribadat, berbuat baik, menjalankan korban, dan mempelajari Weda. Semoga mereka menjaga kerajaan yang tidak ada bandingannya ini seperti sang Raja telah menjaganya.
Raja Gajayana mempunyai seorang puteri Uttejena yang kelak meneruskan Vamcakula ayahandanya yang bijaksana itu.
Cerita di atas diangkat sari satu prasasti yang bernama “Prasasti Dinaya atau Kanjuruhan” menurut nama desa yang disebutkan dalam piagam tersebut. Seperti tertulis di dalamnya, prasasti ini memuat unsure penanggalan dalam candrasengkala yang berbunyi : “Nayana-vaya-rase” yang bernilai 682 tahun caka atau tahun 760 setelah Masehi.
Apabila prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Gajayana pada tahun 760 sesudah Masehi, maka paling tidak prasasti itu merupakan sumber tertulis tertua tentang adanya fasilitas politik yakni berdirinya kerajaan Kanjuruan di wilayah Malang. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Dinoyo terletak 5 km sebelah barat Kota Malang. Di tempat ini menurut penduduk disana, masih ditemukan patung Dewasimha yang terletak di tengah pasar walaupun hampir hilang terbenam ke dalam tanah.
Malangkucecwara berasal dari tiga kata, yakni : Mala yang berarti segala sesuatu yang kotor, kecurangan, kepalsuan, atau bathil, Angkuca yang berarti menghancurkan atau membinasakan dan Icwara yang berarti Tuhan. Dengan demikian Malangkucecwara berarti “TUHAN MENGHANCURKAN YANG BATHIL”.
Walaupun nama Malang telah mendarah daging bagi penduduknya, tetapi nama tersebut masih terus merupakan tanda tanya. Para ahli sejarah masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat atas pernyataan tersebut di atas. Sampai saat ini telah diperoleh beberapa hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut. Malangkucecwara yang tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di sebelah timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang bernama Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung yang bernama Malang.
Pihak yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, satu tempat di sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh sebagian ahli sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan terbalik. Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti candi Jago dan candi Kidal, yang keduanya merupakan peninggalan zaman kerajaan Singasari.
Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat dipastikan manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang yang berasal dari nama bangunan suci Malangkucecwara itu. Apakah daerah di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di sekitar daerah itu.
Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun 1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam satu bagiannya tertulis sebagai berikut : “………… taning sakrid Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I ………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan Dyah Limpa yaitu ………”
Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam prasasti tiu. Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau “Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang.
Timbulnya karajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang.
Setelah kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur. Ketika Islam menaklukkan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di desa Kutobedah.
Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Mengapa Malang?
Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkucecwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkucecwara.
Sekilas Sejarah Pemerintahan


Kota malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.


Malang merupakan sebuah Kerajaan yang berpusat di wilayah Dinoyo, dengan rajanya Gajayana.


Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota
Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.


Legenda Nama Kota Surabaya

Posted On 8:40 PM by ma2d 0 comments

Setidaknya ada tiga keterangan tentang muasal nama Surabaya. Keterangan pertama menyebutkan, nama Surabaya awalnya adalah Churabaya, desa tempat menyeberang di tepian Sungai Brantas. Hal itu tercantum dalam prasasti Trowulan I tahun 1358 Masehi. Nama Surabaya juga tercantum dalam Pujasastra Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca. Dalam tulisan itu Surabaya (Surabhaya) tercantum dalam pujasastra tentang perjalanan pesiar pada tahun 1365 yang dilakukan Hayam Wuruk, Raja Majapahit.
Namun Surabaya sendiri diyakini oleh para ahli telah ada pada tahun-tahun sebelum prasasti-prasasti tersebut dibuat. Seorang peneliti Belanda, GH Von Faber dalam karyanya En Werd Een Stad Geboren (Telah Lahir Sebuah Kota) membuat hipotesis, Surabaya didirikan Raja Kertanegara tahun 1275, sebagai pemukiman baru bagi para prajuritnya yang telah berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M.


Versi berikutnya, nama Surabaya berkait erat dengan cerita tentang perkelahian hidup dan mati antara Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon, setelah mengalahkan tentara Tartar (Mongol), Raden Wijaya yang merupakan raja pertama Majapahit, mendirikan kraton di Ujung Galuh, sekarang kawasan pelabuhan Tanjung Perak, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama Jayengrono makin kuat dan mandiri karena menguasai ilmu Buaya, sehingga mengancam kedaulatan Majapahit.


Untuk menaklukkan Jayengrono, diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung tujuh hari tujuh malam dan berakhir tragis, keduanya meninggal kehabisan tenaga.


Dalam versi lainnya lagi, kata Surabaya muncul dari mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), perlambang perjuangan antara darat dan laut. Penggambaran pertarungan itu terdapat dalam monumen suro dan boyo yang ada dekat kebun binatang di Jalan Setail Surabaya


Versi terakhir, dikeluarkan pada tahun 1975, ketika Walikota Subaya Soeparno menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya. Ini berarti pada tahun 2005 Surabaya sudah berusia 712 tahun. Penetapan itu berdasar kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata sura ing bhaya yang berarti keberanian menghadapi bahaya.


Legenda Nama Kota Banyuwangi

Posted On 8:22 PM by ma2d 0 comments

Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. ” Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.